Konflik Cinta
Puisi Tentang Konflik, Pertengkaran, atau Prahara Cinta 2016.
Kiaara: Selamat malam, bulanku, muara sajak tertimbunku. Detik ini, percayamu berjeda. Pun percayaku jadi angkara.
[...]
Norman Adi Satria: Dalam alam khayal, kamu sempurna. Pada kenyataannya, kamu adalah kesempurnaan yang lain.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Menyanyat garis-garis hitam atas warna keemasan; di musim apa Kita mesti berpisah tanpa membungkukkan selamat jalan?
[...]
Norman Adi Satria: Wanita cengangas-cengenges itu bukan wanita seutuhnya. Wanita butuh menangis!
[...]
Chairil Anwar: Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang. Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
[...]
Chairil Anwar: Matamu ungu membatu. Masih berdekapankah kami atau mengikut juga bayangan itu?
[...]
Norman Adi Satria: Ketika itu kau pamit, namun akhirnya aku yang pergi. Karena intinya bukan siapa yang harus meninggalkan atau ditinggalkan, namun kita memang harus berpisah sebelum dipisahkan.
[...]
Norman Adi Satria: Air selalu hadir untuk membasuh. Jika kau tenggelam karenanya, itu hanya karena kau tak sanggup berenang.
[...]
Norman Adi Satria: Cinta bukan eksakta yang mampu kau buktikan dengan coba-coba kemudian kau rumuskan dengan kata-kata.
[...]
Norman Adi Satria: Dia buka satu per satu kancing bajunya. Dia buka resleting celana saya. "Wah, relevan nih, relevan." ucap saya.
[...]
Chairil Anwar: Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!? Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
[...]
Norman Adi Satria: Masihkah kita saling mencintai? Sebuah tanya yang tak ingin sekedar kujawab dengan selembar puisi.
[...]
Norman Adi Satria: Kamu siksa aku dua kali lipat, tahu: harus jadi jomblo di malam Minggu! Kenapa kamu tidak selingkuh kemarin Rabu?
[...]
Joko Pinurbo: Pergi! Tak ada seks di sini. Dulu kautinggalkan ranjang, sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.
[...]
Chairil Anwar: Kita musti bercerai sebelum kicau murai berderai. Terlalu kita minta pada malam ini.
[...]
Joko Pinurbo: Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini, di rumah yang terpencil di sudut kenangan.
[...]
Chairil Anwar: Sorga hanya permainan sebentar. Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
[...]
Norman Adi Satria: Di Teluk Penyu, aku dipeluk kamu. Berkecipak tentakel sotong, berkecipok menggusel si otong.
[...]
Norman Adi Satria:Aku sedang mencari tanggal dimana kita pertama kali bertemu. Aku ingin melihat senyummu yang tak pernah lagi kau berikan untukku. Barangkali senyummu yang dulu menempel di kalender itu.
[...]
Norman Adi Satria: Aku pernah menelanjangimu suatu ketika, saat rumah sepi, ayah ibumu pergi.
[...]
Norman Adi Satria: Benarkah kita belum swasembada suasana sehingga kita tak betah berlama-lama di rumah?
[...]
Norman Adi Satria: Lebih baik bagi kita berpisah dalam pertengkaran, saling menuding menyalahkan, agar kita mudah saling melupakan.
[...]
Norman Adi Satria: Aku pergi karena kau masih saja menyangka dirimu bunga! Aku memang kumbang jantan, dan kau seharusnya jadi kumbang betina! Bukan bunga!
[...]
Norman Adi Satria: Suara tangis itu adalah tangis istrinya yang memohon jangan menyakiti lelaki simpanannya, "Bunuh saja aku, jangan dia."
[...]
Norman Adi Satria: Mas, aku memang pura-pura jahat.. Tapi aku ga pura-pura minta putus.. Aku mau kita putus beneran, Mas.
[...]
Norman Adi Satria: Suara angin adalah suaramu yang berteriak memanggilku di ujung gang, memintaku kembali, memohon aku jangan pergi.
[...]
Norman Adi Satria: "Mas, aku ini memang gampang bunting!" kata gadis itu sambil mengelus perut. "Tapi aku kan cuma mengedipkan mata, Mbak?" jawab Supri keringatan.
[...]
Norman Adi Satria: "Kenapa? Tak ada yang lebih segalanya dariku?" tanyaku. "Banyak! Tapi nggak ada yang mau sama aku." jawabmu.
[...]
Norman Adi Satria: Untuk apa menyudahi yang telah sudah?
[...]
Norman Adi Satria: Aku masih ingat kata-katanya yang seperti biasa: "Hai, apa kabar hatimu?" Dan biasanya aku tak menjawab buru-buru karena terburu malu-malu.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, "lepaskan daun itu!"
[...]
Chairil Anwar: Mulutmu mencubit di mulutku. Menggelegak benci sejenak itu.
[...]
Chairil Anwar: Kau kawin, beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
[...]
Chairil Anwar: Melayang ingatan ke biniku. Lautan yang belum terduga. Biar lebih kami tujuh tahun bersatu.
[...]
Norman Adi Satria: "Sudah... Airmata itu jangan mengalir untukku. Bukan aku yang layak membuatnya terjatuh... dari matamu.."
[...]
Norman Adi Satria: Mengutarakan kecewa, menyelatankan maki, mentimurkan cinta, membaratkan berahi.
[...]
Norman Adi Satria: Aku telah menjadi penghalang antara kau dan jarak. Namun kemudian kau berteriak: jangan halangi jarak itu!
[...]
Norman Adi Satria: Suatu saat aku akan membunuh aku-mu itu!
[...]
(Norman Adi Satria) : Itu debar rinduku, untukmu. Bukan biduan yang kecentilan merabaku.
[...]
Norman Adi Satria: Sepertinya hatiku takkan pernah jadi batu. Untuk apa candi itu disebut asmara tanpa getar cinta?
[...]
(Norman Adi Satria) : Yang jelas kening itu sudah lama kering. Ketika ditanya: kemana bibir yang dulu menciuminya? Dia menjawab: "Mungkin dia lelah."
[...]
Norman Adi Satria: "Aku mencintaimu, sayang." "Ah, tahi banteng (bullshit), buktinya kamu selingkuh?"
[...]
(Norman Adi Satria): Hatimu terlalu dingin sampai-sampai ditinggali sekawanan penguin.
[...]
(Norman Adi Satria) : Mengapa kau selalu bersembunyi di balik kata penyesalan? Penyesalan bukan dinding petak umpet yang aman untuk bersembunyi dari hukuman atas kesalahan.
[...]
(Norman Adi Satria) : Ya, aku akan terus menerus memaafkanmu. Hingga untuk yang terakhir aku akan memaafkanmu sebagai seseorang yang tak kukenali.
[...]
(Norman Adi Satria) : Ingatlah ini, kekasihku hanya orang yang teramat kita cintai yang mampu membuat kita benar-benar tersakiti, dan bagiku itu tentu saja kau.
[...]
(Norman Adi Satria) : Kita ingin terus bicara satu sama lain. Sampai lupa mendengar satu sama lain, dan tak sadar melukai satu sama lain.
[...]
Norman Adi Satria: Aku tahu itu, istriku, aku diam-diam menghitung lelahmu saat kau lelap dalam tidurmu.
[...]
Norman Adi Satria: Mari kita seriusi canda ini, namun jangan candai keseriusan.
[...]
(Norman Adi Satria) : Sudah kubilang berulang kali selama masih ada aku, kamu jangan pernah jadi lesbi..!
[...]