Joko Pinurbo
Kumpulan Puisi Terbaik Joko Pinurbo.
Joko Pinurbo: Buat orang semelankolia saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya berusaha tidak telat minum puisi sebab akibatnya bisa gawat.
[...]
Joko Pinurbo: Tubuhku rumah kontrakan yang sudah sekian waktu aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku.
[...]
Joko Pinurbo: Bahkan celana memilih nasibnya sendiri: ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat belajar bugil dan mandi.
[...]
Joko Pinurbo: Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.
[...]
Joko Pinurbo: "Hai, bajingan kita pulang!" seru boneka singa yang tetap perkasa dan menggigil saja ia saat kubelai-belai rambutnya.
[...]
Joko Pinurbo: Di dalam keranjang ia tidurkan bayinya, bayi yang lahir dari rahim senja.
[...]
Joko Pinurbo: Mobil merah di pojok kuburan serupa mobil-mobilan yang dulu hilang. Musik dihidupkan, mata dipejamkan. Di terang sepi kembang jepun bermekaran.
[...]
Joko Pinurbo: Menggigil adalah menghafal rute menuju ibu kota tubuhmu.
[...]
Joko Pinurbo: Aku tak tahu apakah itu yang namanya cinta monyet. Sedikit cintanya, lebih banyak nyometnya, dan akhirnya hanya tinggal nyemotnya.
[...]
Joko Pinurbo: Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu pelan-pelan terbuka dan merebakkan bau masam dari ketiakmu. Aku gugup.
[...]
Joko Pinurbo: Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan.
[...]
Joko Pinurbo: Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang membuka dan menutup pintu setiap kau masuk dan keluar kamar mandi.
[...]
Joko Pinurbo: "Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya sering maju-mundur, bunyinya suka ngawur." Semoga tukang bikin betul jam tahu bahwa ia sedang berurusan dengan penggemar waktu.
[...]
Joko Pinurbo: Almarhum bapaknya sebenarnya tak suka ia susah-susah jadi reporter. Lebih baik jadi artis yang kerjanya diuber-uber wartawan.
[...]
Joko Pinurbo: Dua ekor celana, dua ekor sepi, menggigil riang di atas kursi.
[...]
Joko Pinurbo: Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedang banyak keperluan. Toilet baru akan saya lapisi emas, istri belum sempat saya tambah lagi.
[...]
Joko Pinurbo: Aku ingin memperkosamu di taman yang hening ini.
[...]
Joko Pinurbo: Aku terbangun dari rerimbunan ranjang, menyaksikan angin dan dingin hujan bercinta-cintaan di bawah rerindang hujan
[...]
Joko Pinurbo: "Pilih cinta atau nyawa?" ia mengancam. "Beri saya kesempatan mandi dulu. Setelah itu perkosalah saya."
[...]
Joko Pinurbo: Masa kecil kaurayakan dengan membaca. Kepalamu berambutkan kata-kata.
[...]
Joko Pinurbo: Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah yang akan diriasnya mirip dengan dirinya.
[...]
Joko Pinurbo: Ia ngacir tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan, "Ibu, kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?"
[...]
Joko Pinurbo: Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Colombus pun akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
[...]
Joko Pinurbo: Tapi perempuan itu lebih tertarik pada yang bertengger di dalam celana. Ia sewot juga: "Buka dan buang celanamu!"
[...]
Joko Pinurbo: Semoga anakku yang pemberani, yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan, menemukan jalan untuk pulang; pun jika aku sudah lapuk dan karatan
[...]
Joko Pinurbo: Beginilah jika ada yang lancang mengusik jagat mimpiku yang tenteram. Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.
[...]
Joko Pinurbo: Pergi! Tak ada seks di sini. Dulu kautinggalkan ranjang, sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.
[...]
Joko Pinurbo: "Selamat minggat," ujarnya sambil mencubit pipiku. "Selamat ngorok," ucapku sambil kucubit janggutnya.
[...]
Joko Pinurbo: Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.
[...]
Joko Pinurbo: Kalian sembunyikan di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.
[...]
Joko Pinurbo: Sabda sudah menjadi saya. Saya akan dipecah-pecah menjadi ribuan kata dan suara.
[...]
Joko Pinurbo: Tubuh yang mulai akrab dengan saya ini sebenarnya mayat yang saya pinjam dari seorang korban tak dikenal yang tergeletak di pinggir jalan.
[...]
Joko Pinurbo: Kauraba-raba peta tubuhmu dan kaudengar suara: Mengapa tak juga kautemukan Aku?
[...]
Joko Pinurbo: Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami.
[...]
Joko Pinurbo: Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu. Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu.
[...]
Joko Pinurbo: Di bawah kibaran sarung, rumah adalah kampung. Kampung kecil di mana kau bisa ngintip yang serba gaib.
[...]
Joko Pinurbo: Bukankah wajah kita pun cuma topeng yang tak pernah sempurna mengungkapkan kehendak penciptanya?
[...]
Joko Pinurbo: Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini, di rumah yang terpencil di sudut kenangan.
[...]
Joko Pinurbo: O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet malam-malam untuk mengerami telur-telurnya.
[...]
Joko Pinurbo: Selamat tinggal, negara. Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara. Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.
[...]
Joko Pinurbo: Aku mau piknik sebentar ke kuburan. Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu.
[...]
Joko Pinurbo: Kau menungguku di sebuah pintu dan aku datang melalui pintu yang tak kaulihat.
[...]
Joko Pinurbo: Mata mengincar mata, merangkum ruang. Mata: kristal waktu yang tembus pandang. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.
[...]
Joko Pinurbo: Buah hatiku, sesungguhnya kau anak si pemerkosa itu.
[...]
Joko Pinurbo: Ibu sakit. Kangen berat. Nenek sudah tiga hari hilang. Sarung ayah dicuri orang. Utang stabil. Bisa pulang? Bisa minta ijin telepon genggam?
[...]
Joko Pinurbo: Aku belum bisa menjadi pemabuk yang baik dan benar, Sayang.
[...]
Joko Pinurbo: Seperti gelandangan kecil menenggak sebotol mimpi di bawah rindang matahari, malam ini aku mau minum di bibirmu.
[...]
Joko Pinurbo: Sampai di terminal kondektur minta ongkos: "Sialah, belum bayar sudah mati!"
[...]
Joko Pinurbo: Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu. Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
[...]
Joko Pinurbo: Aku ini seorang peternak: saban hari mengembangbiakkan kata dan belum kudapatkan kata yang bisa mengucapkan kita.
[...]