Normantis Update

Tiket Perjalanan Jakarta – ….. | Puisi Norman Adi Satria

Karya: Norman Adi Satria

Tiket Perjalanan Jakarta - ...... | Norman Adi Satria | normantis.com

TIKET PERJALANAN JAKARTA – …..
Karya: Norman Adi Satria

Calo tiket bus di terminal itu kurang ajar!
Masa dia bilang saya ngeyel dan gila
padahal dari tadi yang ngeyel dan gila itu dia
dengan mengatakan bahwa tiket yang saya cari itu tidak ada
dan bahkan tidak akan pernah ada.

“Carikan saya tiket menuju yang terdekat dengan tujuan saya.
Biar nanti saya teruskan dengan kendaraan lain.” pinta saya.
“Yang terdekat dari tujuan Abang itu juga tidak ada.
Tujuan Abang terlalu jauh. Lebih baik Abang pulang!” omelnya.
“Bagaimana saya mau pulang kalau tiketnya tidak ada?”

Melihat saya kesal, dia mulai melembut
bahkan menyodorkan sebatang Jarum Super
yang menyelip di telinga kanannya.
“Rokok, Bang?”
“Kamu?”
“Saya masih ada. Nih, di telinga kiri.”
Saya hisap dalam-dalam rokok itu
tak peduli aromanya telah tercampur
dengan entah minyak rambut entah minyak rem
ketengikan yang sukar diterka.

“Abang sehat?” tanyanya.
“Sehat? Maksudnya?”
“Naik kendaraan apapun, Abang tidak bakal sampai ke sana.”
“Jadi, kamu masih mikir saya gila?”
“Bisa jadi. Apalagi waktu ngelihat Abang ngisap rokok yang belum nyala.
Ini koreknya, Bang.”

Dibakar di ujung, dihisap di ujung satunya
mengapa merokok harus seperti itu?
Semakin dihisap, semakin dekat api kepada bibir
semakin jauh untuk kembali ke bentuk semula
atau bahkan sama sekali tak bisa.
Seperti saya yang tak bisa pulang
dari Jakarta ke Masa Lalu.

“Abang waktu kecil kebanyakan baca komik Doraemon kali ya?”
“Mungkin.”
“Saya juga. Kadang saya curiga, Pak Dariman satpam terminal gembrot itu
sesungguhnya adalah robot kucing dari masa depan yang menyamar.
Dariman…. Doraemon… Mirip-mirip kan?”
“Nah, kalau yang itu Giant dan Suneo ya?”
“Hahahaha… Abang sembarangan. Itu petugas Dishub, Bang.”

Rokok tinggal puntung
dari calo bus itu akhirnya saya membeli tiket menuju kampung halaman.
“Jadi sekarang Abang sadar kan, tidak ada tiket dari Jakarta menuju Masa Lalu?”
“Mungkin.” jawab saya menaiki bus antarkota.
“Hati-hati, Bang. Sehat-sehat.” teriaknya.
“Terima kasih rokoknya!” balas saya.

Dalam perjalanan saya merenung
membayangkan wajah kampung halaman yang kian diubah zaman
kian jauh untuk dikenali
mungkin sesampainya di sana kami akan sama-sama pangling
saling menatap satu sama lain
mencoba mencocokkan yang nampak
dengan yang terkenang.

Cilacap, aku menyebutkan namanya
ia mungkin masih memiliki pantai yang sama
tapi ombak selalu berganti
entah dimana kini
ombak yang dulu menyapu dua pasang jejak sejoli.

Jakarta, 5 Juni 2017
Norman Adi Satria

BERANI NONTON VIDEO NORMANTIS? KLIK AJA!

KARYA TERBARU

Masukkan alamat Emailmu.

Bergabung dengan 1.782 pelanggan lain

Komentar